PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

Sir. 10:1-8; 1Ptr. 2:13-17; Mat. 22:15-21

CINTA, IKHLAS DAN ABDI NEGARA

Pesan Yesus bagi bangsa dan negara kita, sudah jelas dan tiap tahun kita dengar kembali: berikan kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah. Jawaban Yesus: “Berikan kepada Kaisar apa yang menjadi hak kaisar…” sebenarnya sudah cukup sebagai jawaban. Tetapi tambahan “dan kepada Allah yang menjadi hak Allah,” merupakan penjelasan yang mendasar tentang sikap kita sebagai manusia yang hidup sebagai warga negara dan sekaligus sebagai umat Allah. Soal membayar pajak adalah soal mempertahankan hak atau melakukan kewajiban sebagai warga negara. Tetapi dasar dari semuanya ialah memperhatikan hak dan kewajiban terhadap Allah?
Kita sering mencari Allah untuk menjawab kebutuhan kita. Allah kita dekati secara fungsional. Saya butuh, maka saya datang. Dan karena Allah mahakuasa, maka Allah dapat melakukan apa saja dan memberi apa saja yang saya butuhkan. Bukankah dengan demikian kita juga perlu bertanya tentang hak-hak Allah yang harus kita penuhi? Seringkali kita merasa sudah memenuhinya dengan menunaikan kewajiban ibadat. Tapi lihat X Perintah Allah: hanya satu perintah tentang ibadat: Kuduskanlah hari Tuhan. Dua perintah tentang berhala dan nama Tuhan, 7 perintah lain tentang hubungan kita dengan sesama. Dan apakah kita sudah memenuhi hak-hak Allah yang tercantum dalam X Perintah itu? Dan itu belum semua. Judi dan mabuk, meski tidak tercantum dalam X Perintah, pasti juga termasuk yang dilarang oleh Allah.

“Bisa saya melihat bayi saya?” pinta seorang ibu yang baru melahirkan penuh kebahagiaan. Ketika gendongan itu berpindah ke tangannya dan ia membuka selimut yang membungkus wajah bayi lelaki yang mungil itu, ibu itu menahan nafasnya. Dokter yang menungguinya segera berbalik memandang ke arah luar jendela rumah sakit. Bayi itu dilahirkan tanpa kedua belah telinga! Waktu membuktikan bahwa pendengaran bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak itu bekerja dengan sempurna. Hanya penampilannya saja yang tampak aneh dan kurang menarik. Suatu hari anak lelaki itu bergegas pulang ke rumah dan membenamkan wajahnya di pelukan sang ibu, anak itu tak mampu menahan tangisnya. Sang ibu tahu hidup anak lelakinya itu kurang meggembirakan. Anak lelakinya itu terisak-isak berkata, “Seorang anak laki-laki besar mengejekku. Katanya, “aku ini makhluk aneh.”
Anak lelaki itu tumbuh dewasa. Ia cukup tampan dengan cacatnya. Ia pun disukai teman-teman sekolahnya. Ia juga mengembangkan bakatnya di bidang musik dan menulis.Ia ingin sekali menjadi ketua kelas. Ibunya mengingatkan, “Bukankah nantinya kau akan bergaul dengan remaja-remaja lain?” Namun dalam hati ibu merasa kasihan dengannya. Suatu hari ayah anak lelaki itu bertemu dengan seorang dokter yang bisa mencangkokkan telinga untuk anaknya. “Saya yakin saya mampu memindahkan sepasang telinga untuknya. Tetapi harus ada seseorang yang bersedia mendonorkan telinganya,” kata dokter. Kemudian, orangtua anak lelaki itu mulai mencari siapa yang mau mengorbankan telinga dan mendonorkan untuk anaknya. Beberapa bulan sudah berlalu. Dan tibalah saatnya mereka memanggil anak lelakinya, “Nak, seseorang yang tak ingin dikenal telah bersedia mendonorkan telinganya padamu. Kami harus segera mengirimmu ke rumah sakit untuk dilakukan operasi. Namun, semua ini sangatlah rahasia.” kata sang ayah. Operasi berjalan dengan sukses. Seorang lelaki baru pun lahir dengan cukup sempurna. Bakat musiknya yang hebat itu berubah menjadi kejeniusan. Ia pun menerima banyak penghargaan dari sekolahnya.

Beberapa tahun kemudian ia pun menikah dan bekerja sebagai seorang diplomat. Ia menemui ayahnya, “Yah, aku harus mengetahui siapa yang telah bersedia mengorbankan ini semua padaku. Ia telah berbuat sesuatu yang besar namun aku sama sekali belum membalas kebaikannya.” Ayahnya menjawab, “Ayah yakin kau takkan bisa membalas kebaikan hati orang yang telah memberikan telinga itu.” Setelah terdiam sesaat ayahnya melanjutkan, “Sesuai dengan perjanjian, belum saatnya bagimu untuk mengetahui semua rahasia ini.” Tahun berganti tahun. Kedua orangtua lelaki itu tetap menyimpan rahasia.

Suatu hari tibalah saat yang menyedihkan bagi keluarga itu. Di hari itu ayah dan anak lelaki itu berdiri di tepi peti jenazah ibunya yang baru saja meninggal. Dengan perlahan dan lembut, sang ayah membelai rambut jenazah istrinya yang terbujur kaku itu, lalu menyibaknya sehingga tampaklah………bahwa sang ibu tidak memiliki telinga. “Ibumu pernah berkata bahwa ia senang sekali bisa memanjangkan rambutnya,” bisik sang ayah. “Dan tak seorang pun menyadari bahwa ia telah kehilangan sedikit kecantikannya, bukan? ” Cinta yang sejati tidak terletak pada apa yang telah dikerjakan dan diketahui, namun pada apa yang telah dikerjakan namun tidak diketahui.*

Mencintai sesama dan mencintai bangsa dan Negara ini, bukanlah seberapa banyak yang sudah kita lakukan kepada sesama atau bangsa dan negara ini. Tetapi seberapa besar kita bersedia melakukan sesuatu bagi mereka. Inilah cinta, inilah ikhlas. Inilah melaksanakan Perintah Allah dan mengabdi negara. Merdeka!!!

*Today’s insight: Inilah Cinta, Inilah Ikhlas

RD. Johanes Handriyanto Widjadja

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *