PERDULI AKAN HAK ALLAH
MINGGU BIASA 29, A; 22 Oktober 2023 (Minggu Misi)
Yes. 45:1.4-6; 1Tes. 1:1-5b; Mat. 22:15-20
Pertanyaan orang Farisi dan Herodian tentang pajak, merupakan jebakan yang cerdik. Orang Farisi tidak setuju orang Yahudi membayar pajak kepada kaisar. Ada 3 alasan: A. membayar pajak itu hanya kepada Yahwe, pemilik bangsa Israel. B. membayar pajak kepada Kaisar berarti mengakui Kaisar lebih berkuasa daripada Yahwe. C. uang dinar yang dipakai untuk membayar pajak adalah uang romawi. Pada satu sisi mata uang itu ada cetakan kepala kaisar yang berkuasa dan disisi lain ada tulisan: Kaisar… Anak Allah. Jadi membayar pajak, berarti mengakui kaisar sebagai anak Allah. Itu syirik! Menduakan Allah.
Orang Herodian setuju dengan membayar pajak. Tetapi mereka ingin agar uang pajak itu dikelola oleh penguasa setempat, yaitu Raja Herodes. Jadi apa pun jawaban Yesus, setuju atau menolak, pasti salah. Jebakan yang cerdik dan rapih.
Jawaban Yesus adalah jawaban praktis untuk saat itu: kamu keberatan membayar pajak kepada kaisar, tetapi kamu tidak berbuat apa-apa. Hanya wacana saja. Jadi berikan kepada kaisar yang menjadi haknya. Ini jawaban yang cerdik dan sudah cukup. Tetapi lebih dari itu, Yesus menambahkan: Berikah kepada Allah yang menjadi hak Allah! Yesus mau menunjukkan ada hal yang lebih penting daripada sibuk dengan soal pajak. Apakah kamu sudah memperhatikan kehendak, kuasa, kasih Allah dan mengambil sikap yang sesuai dengan kehendakNya?
Hal itu yang sering terjadi dalam hidup kita. Kita disibukkan dengan berbagai masalah dengan semua alasan dan pertimbangan untung-rugi, kepantasan dsb. Itu hidup yang berpusat pada diri sendiri. Tetapi apakah kita sempat sejenak melihat ke atas dan bertanya: Apa kehendakMu, Tuhan? Hidup bukan sekedar kesibukan dengan macam-macam urusan dan kepentingan diri. Iman juga bukan sekedar tindakan dan wacana kesalehan. Jika hidup terutama berpusat pada hak Allah, pada kehendakNya, maka hidup akan dijalani secara berbeda.
Setiap dari kita adalah orang yang dikasihi Allah dan diberinya kepercayaan dan tugas untuk menghadirkan dan menyebarkan Kerajaan Allah ketengah masyarakat dimana kita hidup dan bekerja. Itu tugas kita, itu misi kita. Bagaimana kita dapat melaksanakannya?
Ada seorang anak yang diculik oleh bekas pegawai ayahnya, dia ditembak di kepala, kena pada matanya dan ditinggal pergi. Untung peluru itu seletah menembus bola mata, keluar lewat kening kanan tanpa merusak otak. Dia ditolong seseorang. Setelah sembuh, dia diminta melukiskan siapa orang yang menculik dan menembaknya. Dengan gambaran yang diberikannya, dapat dilukis wajah orang itu. Tetapi pada saat pembuktian, anak itu begitu gugup, ia tak dapat menunjuk yang mana orang yang menembaknya diantara beberapa orang. Akibatnya orang itu bebas karena tidak ada bukti. Anak itu kehilangan mata kirinya, 3 tahun hidup dalam trauma. Saat ia berumur 13 tahun, dalam suatu pendalaman Alkitab, ia menemukan bahwa ia tetap hidup karena keajaiban lindungan dan kasih Allah. Ia terbebas dari trauma dan ketakutan, ia hidup tanpa dendam, ia menyelesaikan sekolah, menikah dan punya 2 anak.
22 tahun kemudian, polisi yang dulu menyelidiki kasus penembakannya, memberi tahu bahwa penjahat itu mengaku. Dia sudah 70 tahun, buta, sakit-sakitan, tanpa teman atau keluarga. Dia mohon maaf. Orang itu datang, memaafkannya, bahkan mengajak anak dan istrinya mengunjungi orang tua itu. Bahkan mereka memperlakukannya sebagai keluarga dan menghiburnya sampai saat meninggalnya. Apa yang ditulisnya tentang dirinya: Dunia memandangku sebagai kurban tragedi yang mengerikan. Aku memandang diriku sebagai ‘kurban’ sejumlah mukjijad. Aku hidup, tidak cacat mental, punya istri dan keluarga yang bahagia. Aku punya banyak peluang, aku orang yang menerima begitu banyak anugerah. Orang heran karena aku memaafkan orang itu. Aku sendiri melihat bahwa aku tidak dapat tidak, harus memaafkannya. Jika aku hidup untuk membencinya atau berusaha membalas dendam, maka aku tidak dapat menjadi orang seperti adanya aku sekarang ini. Punya istri dan anak-anak yang mencintai aku.*
Jangan sibuk tentang pajak, jangan sibuk tentang beban. Allah telah memberi karunia. Apa yang dapat kita kembalikan kepadaNya sebagai hakNya? Membagikan kebaikan Allah dalam hidup kita. AMIN.
* Chicken Soup for the unsinkable Soul: Kekuatan Sikap Pemaaf, hal 313-316

RD. Johanes Handriyanto Widjadja
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!