MASIH ADA KESEMPATAN UNTUK BERUBAH DAN BERTUMBUH

MINGGU BIASA 27, A; 8 Oktober 2023
Yes. 5:1-7; Flp. 4:6-9; Mat. 21:33-43

 

Perumpamaan hari ini ditujukan Yesus kepada para pemimpin bangsa Yahudi. Untuk memahami maksud Yesus dengan perumpamaan ini, kita perlu mengerti latar belakang situasi ceritanya. Untuk menyiapkan kebun anggur, dilukiskan banyaknya pekerjaan: mencangkul, membuang batu-batu (yang sangat banyak di Israel) dan menanaminya dengan anggur pilihan. Lalu persiapan untuk panen: menara jaga untuk mengawasi kebun itu dari pencuri, tempat pemerasan anggur. Dalam Injil Mat, masih ditambahkan pagar sekelilingnya, untuk mencegah binatang buas atau ternak masuk dan merusak kebun itu. Tentu pemilik kebun itu mengharapkan hasil dari investasi besar yang sudah dilakukannya. Tindakan para penyewa yang tidak mau menyerahkan bagi hasil, sudah tidak benar. Yang paling buruk, mereka mencoba merampas tanah itu dengan membunuh akhli warisnya. Tanah adalah tanda berkat Allah kepada bangsa terpilih. Tanah sebagai hak waris, sedapat-dapatnya jangan dijual. Sekarang mereka mencoba merampasnya. Ini tindakan yang sangat tidak dapat diterima. Jadi jawaban para pemimpin bangsa Yahudi adalah jawaban logis. Orang yang seperti itu, layak dibunuh dan diganti oleh yang lebih bertanggung jawab.

 

Mereka menangkap maksud Yesus dengan perumpamaan ini. Mereka merasa tersindir, tetapi mereka berkeras tidak mau mengubah pandangan dan sikap hidup mereka. Yesus tetap dilihat sebagai yang membahayakan ketertiban masyarakat dan dapat menjadi ancaman penekanan dari pemerintah Romawi untuk bertindak lebih keras lagi kepada mereka. Mereka ingin mengamankan posisi dan kedudukan mereka dan menolak untuk menerima ajakan Yesus untuk melihat bahwa Allah sudah datang untuk menyelamatkan mereka. Mereka menolak untuk bertobat dan berubah.

 

Hal yang layak kita renungkan: apakah saya merasa bahwa saya seperti para penggarap kebun anggur itu? Tentu tidak! Tapi saya dapat menunjukkan siapa orang-orang yang seperti mereka. Jika kita menjawab demikian, maka kita tidak menangkap pesan Yesus. Tuhan Yesus mau memperlihatkan, betapa Allah itu mahasabar dan mahangotot. Tidak ada putus asa dalam usaha Allah untuk menawarkan pertobatan kepada manusia. Bahkan sampai menyerahkan PuteraNya sendiri. Pesan bagi kita: Kalau sekarang hidup kita belum berbuah, masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Ubah hidup kita dari berpusat pada diri sendiri dan kepentingan diri kita, menjadi orang yang giat mencari Tuhan dan mengusahakan untuk menghasilkan yang baik untuk sesama.

 

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya.

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah, kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, Seolah … semua “derita” adalah hukuman bagiku. Seolah … keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah… “ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja” *

 

Kita tidak merasa bahwa hidup dan seluruh kegiatan kita adalah titipan, kebun anggur Tuhan dimana kita jadi penggarapnya. Kita merasa bahwa kita pemilik, kita pengusaha dan semua hasilnya adalah milik kita. Seperti dikatakan Rendra, Tuhan itu kita perlakukan sebagai mitra dagang. Kita perlakukan hukum ‘tabur-tuai’. Saya sudah baik, maka berkat harus turun dan bencana harus jauh. Jika tidak, maka Tuhan tidak adil.

 

Dalam sebuah kelompok doa, ada seorang bapak sharing demikian: “Saya bekerja itu sekarang untuk Tuhan. Apa yang saya usahakan, saya lakukan sedapat-dapatnya untuk kemuliaan Tuhan dan kesejahteraan sesama. Dan di luar pekerjaan saya juga mencoba menyisihkan waktu untuk kegiatan Gereja dan masyarakat.” Sesudah syaring seseorang berkata: “Wah, hidup bapak penuh dengan Tuhan dan kegiatan sosial. Pasti Tuhan akan memberkati bapak, ya.” Tetapi bapak itu menjawab: “Saya tidak melakukan ini untuk mengharapkan berkat Tuhan. Maaf. Bukan saya mau sombong. Saya melakukan ini untuk membayar hutang saya kepada Tuhan. BerkatNya sudah lama, dari dulu sudah saya terima dengan limpahnya. Sekarang saya sedang berusaha mengembalikan apa yang sudah dikurniakanNya kepada saya. Semoga saya dapat membayarnya sedikit dari begitu banyak kebaikan Tuhan kepada saya.”

Kita lupa bahwa semua kehidupan kita adalah kebun anggur yang diinvestasikan Allah dalam hidup kita. Allah yang sudah mempersiapkan segala-galanya untuk kita. Kita dipercaya dan diberi kesempatan untuk menggarapnya. Semoga hidup kita menjadi buah bagi diri kita, saudara/i kita dan sesama kita. Jika kita belum bisa menjadi berkat, semoga hidup kita sekurang-kurangnya memudahkan hidup orang lain demi kemuliaan Tuhan. Amin.

 

*WS Rendra

RD. Johanes Handriyanto Widjadja

RD. Johanes Handriyanto Widjadja

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *