KETAATAN HUKUM DALAM KASIH ADALAH RAHMAT

MINGGU BIASA 31, A;5 November 2023
Mal. 1:14b-2:2b.8-10; 1Tes. 2:7b-9.13; Mat. 23:1-12

Injil hari ini meneruskan Injil minggu yang lalu. Mengasihi Allah dan sesama kita diajak melihat praktek tindakan itu dalam bidang hukum, ibadat dan hidup sosial. Kritik Yesus kepada para pemimpin bangsa Yahudi juga disampaikan kepada kita, para murid dan orang banyak. Supaya kita belajar dari kesalahan mereka dan tidak jatuh pada kesalahan yang sama.

Orang Yahudi ingin menepati Perjanjian mereka dengan Allah dengan setia melaksanakan hukum. Hukum dan aturan cenderung bertambah dan semakin ketat. Hukum Sabbat itu tujuannya agar manusia dan ternak beristirahat, karena itu tidak usah bekerja. Tetapi yang terjadi malah menjadi “hukum tidak boleh bekerja”. Kita juga begitu. “Kamu itu bikin susah. Kalau kamu butuh sesuatu, urus sendiri! Mulai besok, harus ada laporan, ditandatangani yang memohon dan penanggung jawab! Tidak boleh lagi pakai sepeda motornya bapak!” Ini contoh-contoh kecenderungan kita menambah aturan kalau ada masalah dengan orang lain.

Dalam Ibadat. Hal itu bagimu harus menjadi tanda pada tanganmu dan menjadi peringatan di dahimu (Kel.13:9). Maksudnya agar perintah Allah menjadi pusat perhatian dan dilaksanakan. Orang Yahudi mematuhinya dengan membuat tali-tali sembayang, dimana diikat ayat-ayat dari Taurat pada dahi dan tangan mereka, waktu berdoa. Makin lebar dan panjang tali itu, maka lebih banyak ayat dapat ditulis, atau dibordir. Jangan tertawakan mereka. Kita suka pakai rosario emas, mutiara atau apa yang bagus; patung Hati Kudus, Maria, gambar-gambar suci dsb; lebih besar, lebih kecil; pokoknya unik, menarik dan dikagumi orang. Bakti kepada Allah, perlu dinyatakan dalam tanda dan simbol yang nampak nyata. Hal ini merupakan kesalehan. Celakanya, kita mau atau tidak, kesalehan menjadi status simbol yang dapat menaikkan gengsi kita. Kalau kita tidak sadar, kita tidak lagi mencari Allah dalam semua kebaktian kita, tetapi mencari kehormatan diri sendiri. Itulah kemunafikan.

Penegasan Yesus untuk jangan memanggil Guru, Bapa atau Pemimpin bukan aturan hukum. Kita punya banyak guru; pater itu bapa, pastor itu gembala, imam itu pemimpin. Tetapi yang penting bagaimana sikap dalam semua gelar itu: sikap melayani. Bentuk kasih yang paling nyata ialah pelayanan. Melayani berarti kita berpusat pada kebutuhan orang yang akan mendapat pelayanan kita.

Ada seorang anak yang sudah beberapa kali dibawa menghadap kepala sekolah karena kenakalannya. Tetapi ia tetap tidak berubah, selalu mengulangi kenakalannya kepada teman-temannya. Kali ini pun, Anak itu duduk tegak, kepala tertengadah menantang dan tangan terkepal. Pak Kelapa Sekolah memandang si pemberontak itu. “Kamu lagi. Kamu tidak pernah kapok, ya?” “Memang tidak. Saya lakukan apa yang mau saya buat. Dan kalian tidak bisa menghentikan saya.” Pak Kepala Sekolah memandang guru piket yang berdiri di sana. “Kali ini anak ini melakukan apa?” “Berkelahi. Dia menjorokkan kepala Tommy ke kotak pasir.” Kepala sekolah bertanya kepada anak itu: “Kenapa? Apa yang dilakukan tommy kepadamu?” “Tidak ada. Saya tidak suka saja caranya melihat saya. Sama seperti saya juga tidak suka cara bapak melihat saya.” Ia tidak melanjutkan omongannya, matanya menatap menantang. Kepala Sekolah. memandang anak itu agak lama dan dengan lembut dia berkata: “Anakku, hari ini merupakan saat kamu belajar tentang berkat. Berkat secara singkat ialah kebaikan yang tidak layak diterima. Kamu tidak dapat mengusahakan berkat. Itu adalah pemberian. Artinya, kamu tidak akan menerima apa yang selayaknya kamu dapatkan.” Anak itu bingung. “Jadi, bapak tidak akan menghukum saya? Saya boleh pergi?” Kepala Sekolah itu memandang anak yang keras kepala itu. “Ya, saya akan membiarkan kamu pergi.” Anak itu menatap mata Kepala Sekolah. “Tidak ada hukuman, meski saya sudah memukul Tommy dan memasukkan kepalanya ke kotak pasir?” “Oh, harus ada hukuman. Yang kamu lakukan itu salah. Dan selalu ada akibat dan perbuatanmu. Berkat itu bukan alasan pemaaf untuk tindakan salah.” “Saya sudah tahu.” Dia mengajukan tangannya. “Cepat kita selesaikan saja.” Kepala Sekolah mengangguk kepada guru piket. Guru Piket memberikan sabuk ke kepala sekolah. Dilipatnya jadi dua sabuk itu. Dan dikembalikannya ke Guru Piket. Kepala Sekolah memandang anak itu dan berkata: “Saya mau kamu menghitung pukulannya.” Ia berdiri di belakang anak itu. Dilipatnya tangan anak itu dan ia yang mengajukan tangannya. Ia berbisik: “Mulai.” Sabuk itu memecut tangan Kepala Sekolah itu. “Plak!!!” Anak itu terlonjak terkejut. “Satu.” Bisiknya. “Plak!!!” “Dua.” Suaranya meninggi. “Plak!!!” “Tiga.” Anak itu merasa gelisah. “Plak!!! “Empat.” Air matanya mengembang. “Sudah. Berhenti, cukup!! Pecutan sabuk itu terus memukul telapak tangan dari Kepala Sekolah. “Plak!!! Anak itu terisak. Tolong, berhenti! “Plak!!! Plak!!!” Dia memohon. “Berhenti. Saya yang salah. Saya yang harusnya dipukul. Tolong, berhenti, berhenti.” Ia memohon sambal mengangis. Tetapi cambukan itu berlangsung terus, sampai selesai. Kepala Sekolah berdiri gemetar. Keringat membasahi wajahnya dan menetes jatuh dari dagunya. Perlahan dia berlutut. Ditatapnya wajah yang berlinang air mata dari anak itu. Dengan tangannya yang bengkak, dipeluknya anak itu, dia tersedu di dadanya. Itulah berkat.*

Kepala Sekolah itu menerapkan hukum disiplin dan keadilan. Yang salah harus dihukum. Tetapi hukum dipakai dalam cintakasih yang menumbuhkan muridnya. Itulah hukum yang melayani. Itulah berkat. Allah Bapa juga Mahaadil dan Maharahim. Kedosaan manusia harus dibersihkan supaya manusia mendapat kembali kebebasannya. Pembersihan itu dengan penebusan. Kalau manusia harus menebusnya sendiri, maka manusia akan mati. Tetapi Allah mengutus PutraNya untuk menebus dosa manusia. Sehingga manusia menjadi bebas kembali dan dapat kesempatan untuk sekali lagi memilih mengasihi Allah dan mengikuti PuteraNya.

Dari teguran Yesus, kita belajar bagaimana agar dapat menghindari kesalahan dan kemunafikan orang Yahudi. Dengan melihat kasih Allah dalam Yesus Kristus, kita diajak untuk meneladan Yesus; menjadikan hukum sebagai pelayan kebebasan dan pertumbuhan manusia. Hukum dibuat untuk mengatur hidup bersama. Dan dapat disalah gunakan untuk kepentingan kita, yang membuat dan melaksanakan hukum itu. Tetapi hukum dalam bingkai kasih, menjadi pembebasan dan pertumbuhan manusia. Hukum kasih adalah berkat bagi kita. Semoga kita ikut mewujudkannya. Amin.

*F O O D F O R T H O U G H T: GRACE

RD. Johanes Handriyanto Widjadja

RD. Johanes Handriyanto Widjadja

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *